Ritual bangun tidur hari ini lebih lama dari biasanya. Ada sebersit pikiran, nanti malam aku ngga akan menatap atap yang sama dengan atap yang saat ini, mungkin yang berada di atas nanti hanya kain tenda. Ya, ya, ya! Hari ini akan dimulai empat hari perkemahan! Ada banyak hal yang harus dilakukan hari ini, hmm seperti misalnya memasukkan semua barang yang kubutuhkan ke dalam tas, dan meminjam baju pramuka, lalu mengirim pagar bambu dan tanaman hijau ke kos-an Sharah, menyetrika baju yang perlu di setrika, aku kesulitan untuk memilih mendahulukan yang mana.
Pukul setengah tujuh lewat, aku mengirimkan pagar bambu dan tanaman hijau dengan di antar oleh ayah. Sepertinya otot lengan kiriku menjadi lebih berotot karena sepanjang perjalanan aku menahan enam belas potong di satu lengan—lengan yang lain sibuk menyeimbangkan tubuh dengan lalu lintas padat dan kecepatan sepeda motor 60 km/jam, bersyukurlah ada yang menciptakan helm.
Setelah meletakkan si pagar dan si pot di tempat yang lumayan nyaman, aku menunggu teh Vd di pinggir jalan selama ± satu jam.
Sampai di rumah, aku segera memasukkan apa yang masih bisa dimasukkan ke dalam tas yang sudah sesak, dan mengeluarkan apa yang tidak begitu penting, tapi satu menit kemudian aku masukkan lagi, dan lima menit kemudian aku keluarkan lagi, berulang-ulang, hingga azan Dzuhur, aku kehabisan waktu. Ketika semua barang telah berada di balik risleting tas, tararata, di luar hujan deras. Oh.. bisakah aku mengangkut satu tas penuh baju, satu tas penuh makanan, dan satu tas sepatu di satu tangan dan tangan lainnya memegang payung? Aku memilih untuk menunggu hujannya mereda sedikit. Pukul satu aku baru pergi, padahal seharusnya jam segitu udah kumpul di kampus (maafkan aku senior :'( ).
Kanan kiri kulihat semua banyak angkot nol enam..
Sumpah deh bingung banget.. yang mana angkot buat sangga sepuluuuuh??
Seorang teteh senior menghampiriku dan bertanya, “Sangga berapa, de?”, “Sepuluh, teh” lalu ia berteriak-teriak meminta petunjuk dimana letak angkot untuk sangga sepuluh. Akan lebih mudah jika teteh itu meminjamiku hp dan aku akan menelpon Wuri, atau mungkin Sharah, lalu mereka akan segera datang ke tempatku atau aku yang akan menghampiri lokasi mereka berada, tapi mungkin teteh ini juga krisis pulsa sepertiku. Teteh itu berjalan menjauh dariku—masih berteriak, “Angkot sangga sepuluh dimanaa?”, aku kan ngga mungkin tetap berdiri di situ—di tengah kerusuhan pengepakkan barang ke dalam (ekhem) angkot—aku berkeliling melihat satu atau dua hidung yang ku kenal, lalu Wuri melambaikan tangannya, “Diiin! Di sini! Buruan!”. Akhirnya sampai juga di (ekhem) angkot yang telah lama kucari-cari.
Semua teman sanggaku menyambutku dengan sumringah, aku segera mengucapkan belasan permintaan maafku karena terlambat, karena kebodohanku dalam mengatur waktu, keragu-raguanku dalam memilih, kekalahanku melawan hujan dan akhirnya terlambat datang. Mereka semua sangat baik hati tersenyum memaklumi dan menyuruhku dengan lembut untuk memasukkan bawaanku ke dalam angkot. Aku kira kita semua bisa langsung berangkat, yaaah, taunya ada upacara dulu di albar. Pak Rektor berpidato sedikit, dan ada pengarahan dari panitia. Sekelilingku penuh tawa dan canda, beberapa orang teman yang memiliki rasa menghargai orang yang berbicara di depan terlihat bersungguh-sungguh (berekspresi seolah) mendengarkan semua yang di ucapkan oleh siapapun yang berbicara di depan. Beberapa yang lain sibuk dengan ceritanya, ada juga sibuk mengupdate status fb seperti: “Asiik, kemping-kemping” atau “Dadah pussi, malem ini kamu bobo sendiri” (kayak si pussi ini punya akun fb dan bisa baca tulisan ini aja) atau bisa juga seperti yang aku tuliskan di fb-ku sendiri: “Kemping perdana (siapa juga yg mau tau ini perdana atau perdono?), empat hari ngga ketemu Fin dan Denis (dan siapa juga yang peduli siapa itu fin dan denis??)”. Intinya, ngga semua orang yang ada di barisan upacara ini mendengarkan.
Finally, kita semua muat nih di angkot (ini keajaiban dan masih tanda tanya besar, melihat banyaknya barang yang kami bawa), Dinny dan teh Rinna duudk di kursi depan, dan Sani, Irma, Wuri, Dhea, Sharah, Uma, aku, ada di kursi belakang, berusaha senyaman mungkin. Dalam perjalanan, kami melewati SMA N 2, aku berseru seraya senyam-senyum menyebalkan, “ini sekolah aku dulu” (iih jijik deh dengernya). Ketika kami melewati pertigaan Cimaung aku harus menahan diri untuk tidak berteriak memberitahu semua orang, “HOOOII kalau mau ke rumah aku belok ke sini lhoooo”. Itu akan sangat memalukan sekali, ya ampun.. siapa sih yang perlu informasi paling ngga bermutu sepanjang 2011 seperti itu?
Aku, Wuri dan Dinny menunjukkan arah ke rumah Isma pada Kusuma, Dhea, yaah pada siapapun yang telinganya tidak dapat memblokir suara kami. Setidaknya semua orang ingin tahu sejauh apa rumah Isma ke kampus (dan ngga ada yang mau tahu sejauh apa rumahku ke SMA ku—sekitar 15 menit jalan kaki, atau 5 menit naik angkot jauhnya).
Ternyataaa, oh ternyataa lokasi perkemahannya sama dengan lokasi perkemahan SMA ku duluuu, tapi.. dulu aku ngga ikut kemahnya, tapi aku tau, karena tahun kemarin Puji ikut perkemahan untuk mendampingi adik-adik kelas satu, aku dan kawan-kawan mengunjunginya dan memang ini tepat yang sama dengan yang dulu itu.
Baru juga turun dari angkot kami semua di sambut dengan meriah oleh ranjau dom-dom-an dan rumput basah. Baju putih dan kerudung putihku kotor karena kecerobohanku memeluk semua tongkat merah pramuka yang terkena tanah dan basah. Semua noda itu membuatku terlihat seperti anak pramuka sungguhan.
Aku tidak bisa menyusun bambu dan tongkat lalu, tring, menjadi tenda, tenda terbaikku ku terbuat dari selimut dengan garis-garis hitam (seperti yang di rumah sakit bayu asih) yang di sangga oleh dua buah kursi plastik. Di dalamnya ada bantal, guling, dan selimut juga. Kubuat di dalam rumah, tendaku yang mewah itu anti hujan. Aku tidak menemukan kursi plastik bermerk napoleon di tengah-tengah lapangan yang penuh dom-doman, dan aku juga sama tidak bisanya membuat simpul tali untuk bambu-bambu penyusun tenda. Akan kubiarkan teman-temanku yang lain untuk membangun tenda itu, berikan aku arit, atau kored, sini akan ku tebas semua dom-doman di sekitar kapling kita. Tapi faktanyaaa.. Ya Rabbi.. mereka juga ngga ada yang bisa mendirikan tendaaa!! Mungkin mereka juga bisanya bikin tenda dengan kursi plastik sepertiku. Seharusnya aku mencontoh Pinsaku, ia membaca 'Panduan Berkemah' di om google sebelum memulai perkemahan. Tapi kalau aku yang baca itu, kayaknya ngga akan ada perubahan signifikan.
Satu jam kemudian, kami hanya berhasil membuat dua tiang berdiri berhadapan, kami mencoba untuk tidak memedulikan betapa di kanan dan kiri kami telah berdiri tenda-tenda dan mereka semua telah mulai menata bawaan mereka sedangkan kami disini masih berkutat memikirkan bagaimana caranya menyimpul dua tiang bambu, bagaimana caranya membuat bambu-bambu itu tertanam dengan kuat pada tanah, bagaimana caranya agar panitia kasihan dan mengevakuasi kami semua ke rumah masing-masing. Kami gagal pulang ke rumah masing-masing karena beberapa senior melewati ‘tenda’ yang baru dua batang bambu itu, lalu menolong kami membanugn tenda kami. Kami semua harus berterimakasih (tentu saja), tapi kami juga sedikit kecewa (yaah ngga jadi di evakuasi..).
Malam ini kami semua sepakat memilih menu nasi dengan telur goreng untuk makan malam. Hujan di luar cukup deras, dari atas tenda kami yang di bangun susah payah oleh para senior dan teman-temanku, tetesan hujan jatuh perlahan-lahan, sampai larut malam kami (red. Aku, wuri, Dinny) masih belum tidur. Dinny si pinsa yang tidur di dekat pintu masuk bolak-balik membenarkan letak patok tenda, menyalakan obor jejadian, menaruh piring di beberapa tempat menetesnya air di dalm tenda, ia benar-benar seorang pemimpin yang bertanggung jawab (atau mungkin kurang kerjaan?). sedangkan aku dan Wuri bercanda-canda dan mengobrol banyak hal. Dari hal yang terkecil ‘ranjau dom-doman’ sampai terbesar ‘betapa inginnya hari lekas pagi agar kami segera mungkin kembali ke tempat tidur kami di rumah’. Aku dan Wuri beberapa kali (lebih dari 3x) bolak-balik ke toilet, karena kami yang ingin sedikit berjalan-jalan. Kami selallu bertemu panitia yang berbeda setiap keluar untuk ke toilet. Saat kedua kalinya ke toilet, kami bertemu seorang akang panitia, dari jauh kami tidak dapat mengenalinya, dari dekat ternyata itu kang Dede, ia menawarkan senter, Wuri menerima senter itu. Hampir mendekati toilet, kami berpapasan dengan akang yang mendapatkan surat cinta dari Pinsa kami saat mokaku. Saat kami kembali ke tenda, ada dua sosok (yang kata Wuri sih dari bayangannya aja udah ganteng) melipat tangan di dada mereka, berdiri tegak menunggu kami berdua (setidaknya itu yang terlihat atau itu mungkin yang diharapkan, mungkin lho, yang satu sih nungguin senternya balik, yang satu lagi mungkin solider nemenin temennya). Di dalam tenda kami cekikikan, menggoda pinsa kami agar dia iri atau cemburu. Tapi dia tidak begitu menanggapi keisengan kami. Sekitar dini hari aku pergi keluar dengan Uma, di tengah jalan kami bertemu akang panitia (lagi), akang yg ini juga ganteng (setidaknya menurutku begitu), dan menawari kami senter, tapi aku sudah memiliki hp ku yang bisa difungsikan menjadi senter, aku tidak membutuhkan dua senter, maka kami mengacuhkan kebaikan hati akang itu (maaf kang, satu juga cukuup, buat akang aja, ya? Ya? Terimakasih lho kang :) ).
Aku sedikit merasa bersalah, kenapa ngga di ambil aja sih din senternya?
Iih aku lagi sibuk menertawakan Uma yang masih linglung dan ngga bisa membedakan sendal kanan dan kiri, sendal miliknya dan milik yang lain, Uma awalnya memakai sendal berwarna ungu bagian kiri di kaki kanan, dan sendal miliknya sendiri bagian kanan di kiri, dan aku masih belum bisa berhenti tertawa padahal sudah jauh melewati akang baik hati itu. Duuh ngerasa bersalah deh. :(
(fotonya menyusul ah, lola amat jaringannya.. :( )
0 komentar:
Posting Komentar